Seni Islam nasyid sudah sejak pertengahan tahun 80-an masuk ke Indonesia. Meskipun masa itu merupakan hiburan yang baru dan hanya berkembang di sekolah tinggi dan universitas, namun nasyid menjadi ikon bagi para intelektual dan perlahan berkembang ke luar kampus.
Musik Kolak
Bukan hal baru lagi kalau nasyid mendapat julukan musik ‘kolakan’, musik ramadhan, karena memang munculnya nasyid sampai saat ini identik dengan bulan puasa. Sedangkan bulan-bulan lain nasyid sangat jarang terdengar. Menjelang ramadhan barulah khalayak bisa menyaksikan festival nasyid, lomba nasyid, parade nasyid dan kegiatan yang sejenisnya, padahal di bulan-bulan lain hampir tidak ada acara semacam ini. Biasanya segenap gegap gempita nasyid akan hilang begitu memasuki bulan syawal. Nasyid sampai saat ini baru berhasil menunjukkan eksistensinya ‘hanya’ di bulan ramadhan atau paling maksimal pada hari besar keagamaan islam saja. Di satu sisi ini memang menguntungkan karena mudah mengidentikkan mana yang jenis musiknya nasyid mana yang bukan. Namun demikian banyak hal-hal kurang menguntungkan yang terpaksa harus dialami oleh tim nasyid: sebutan musik kolak, identik dengan hanya pantas untuk segmen khusus, musik pinggiran dan lain sebagainya.
Eksistensi tim nasyid juga mendapatkan tantangan yang berat justru dari dalam tim nasyid sendiri. Masalah pemahaman tim-tim nasyid yang tidak sama, tidak memiliki visi yang jelas, jargon ‘nasyid buat dakwah’ yang baru berupa retorika sampai kepada persoalan bagaimana sebuah tim nasyid menghadapi ‘fans’ yang terus mengidolakan sehingga sering membuat mereka lupa daratan, lupa tujuan bernasyidnya.
Sementara di sisi lain, ada kenyataan dimana pemusik umum diluar nasyid juga melantunkan syair-syair islam, khususnya di bulan ramadhan, sehingga membuat komunitas nasyid kepincut dan memindahkan perhatiannya kepada grup yang melantunkan syair islam tersebut. Semakin banyaknya grup-grup band yang memanfaatkan ramadhan sebagai ajang mendapatkan keuntungan besar dengan berpindah dari kebiasaan berjingkrak di panggung ke penampilan yang sopan dan syair-syair yang menawan. Pengaruh ini ditambah lagi dengan ‘kurang pede’nya komunitas nasyid untuk menampilkan jati dirinya. Para fans nasyid cenderung pasif dan tidak memberikan dukungan yang lebih kongkrit bagi tim-tim nasyid yang dengan susah payah ingin keluar dari lingkungan indie (under ground) menuju major. Komunitas penikmat nasyid menjadi komunitas yang tidak berdaya untuk mengangkat citra tim-tim nasyid ke permukaan sehingga lebih dikenal masyarakat luas
Faktor Penghambat
Mengamati perkembangan saat ini, khususnya di Indonesia, nasyid sebenarnya mengalami peningkatan animo yang cukup bagus. Di tingkat bawah, sekolah-sekolah menengah bahkan sekolah dasar nasyid tetap masih sangat diminati. Sekolah Islam terpadu bahkan sekolah dasar umum rata-rata paling tidak memiliki satu grup nasyid, apalagi di kota-kota besar, gejala ini sangat kentara. Ada lebih kurang 1500 tim nasyid di seluruh Indonesia. Namun demikian sangat sedikit sekali yang berhasil menjejakkan kakinya di tingkat nasional, padahal di Indonesia ragam nasyid cukup variatif mulai dari jenis perjuangan, fashion, langgam sampai puji-pujian tidak seperti negeri jiran malaysia dan singapura yang hanya memiliki satu jenis nasyid yaitu langgam melayu. Ada beberapa faktor mengapa nasyid masih berjalan di bawah bayang-bayang, tidak muncul ke permukaan:
Pertama, kemampuan bernasyid dari tim-tim nasyid yang masih sangat rendah. Tim nasyid lebih dibekali oleh semangat belaka tanpa latar belakang pemahaman bermusik yang memadai. Akibatnya hanya sedikit sekali tim nasyid yang laik tampil dan laik tayang. Sisanya terpaksa harus hanya manggung dari RW ke RW.
Kedua, banyak tim nasyid yang tidak memahami definisi nasyid sehingga mereka hanya ikut-ikutan, tidak memiliki konsep yang jelas bagaimana karakter nasyid dan mau diapakan konsep tadi. Nasyid bukan sekedar seni islam, tapi ia adalah senandung yang menggerakkan orang yang melantunkannya dan orang yang mendengarnya. Nasyid bukan hanya sekedar bagaimana membawakannya namun lebih dari itu ia adalah bagaimana mengamalkan apa yang ada di dalam setiap bait syair yang dibawakan. Nasyid sejatinya adalah mengajak orang untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan, seperti halnya seorang da’i yang berceramah, ceramah itu akan jauh lebih bermakna apabila sang da’i adalah orang pertama yang menjalankan setiap perkataan yang disampaikannya dan mencontohkan semua teladan yang diucapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari titik ini maka memaknai nasyid semestinya harus sejalan dengan memaknai islam. Seorang munsyid (pelantun nasyid) semestinya adalah da’i dalam bentuk yang berbeda, apalagi sebuah tim nasyid, mereka adalah para da’i yang berkolaborasi untuk mengajak pemirsanya mengenal islam lebih baik lagi.
Ketiga, pemahaman yang kurang memadai dari kebanyakan tim nasyid dalam menampilkan nasyid itu di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menyebabkan nasyid tidak tepat sasaran. Sebagai seni islam, nasyid bukan hanya layak dibawakan dalam suasana, kondisi dan situasi yang umum saja, bahkan nasyid sebenarnya adalah senandung yang berlaku di semua kesempatan umum dan khusus, yang ketika menampilkannya harus mengacu kepada etika islam dalam pergaulan, etika islam dalam berpakaian dan etika islam dalam berekspresi. Karena itu tidak mungkin sebuah tim nasyid membawakan nasyidnya dalam perhelatan yang dalamnya mencampuradukkan yang haq dan yang batil, audience yang sedang mabuk, bercampur antara pria dan wanita atau bahkan dalam pakaian dan ekspresi yang tidak islami.
Keempat, Manajemen tim nasyid yang memang belum memadai untuk membawa timnya ke tengah masyarakat, terutama industri media dan rekaman sehingga kebanyakan tim nasyid baru berhasil menampilkan identitasnya di lingkungan yang jauh dari industri media dan rekaman.
Kelima, komunitas nasyid cenderung tidak ekspresif dan asertif. Komunitas nasyid sering merasa cukup puas apabila tim nasyid kesukaannya bisa tampil di panggung. Mereka kurang mencoba untuk mendorong tim-tim nasyid masuk kedalam acara-acara di stasiun teve, baik lewat surat yang dilayangkan ke stasiun teve tertentu, atau memberi informasi kepada manajemen tim nasyid agar mereka bisa mendapatkan akses menembus stasiun teve nasional. Belajar dari komunitas dangdut misalnya, mereka berhasil menggabungkan seluruh elemen dalam industri musik dangdut: penyanyinya, manajemennya, fans, produser, distributor, event organizer, bahkan masyarakat penggemar dangdut untuk saling bahu membahu meningkatkan citra musik ini, sehingga sampai hari ini dangdut bisa diterima di tengah-tengah masyarakat, eksis berkiprah dan didukung oleh jutaan pemirsa stasiun teve dan media lainnya dari semua level strata ekonomi.
Akhirnya
Komunitas nasyid di Indonesia perlu belajar dari malaysia, yang sampai hari ini telah berhasil mengangkat martabat nasyid sehingga menjadi genre musik sendiri, mendapatkan penghargaan yang sama dengan musik umum dan memberikan pengaruh yang besar dalam industri musik malaysia. Untuk itu dibutuhkan perhatian yang cukup besar dari komunitas nasyid baik tim nasyid, fans nasyid, penggiat nasyid dan komponen nasyid lainnya agar nasyid bisa muncul ke permukaan, bisa diterima lebih luas lagi dan bukan hanya menjadi musik bulan puasa. Perlu sebuah gerakan bernasyid bersama masyarakat luas sehingga nasyid menjadi suguhan setiap hari, setiap saat. Beragam festival, lomba dan parade nasyid harus sering dilakukan agar tim-tim nasyid mendapatkan pengalaman naik panggung disamping juga sebagai sarana sosialisasi nasyid. Perlu pelatihan terpadu bagi tim-tim nasyid pemula agar segera meningkat kemampuannya Dan pada akhirnya perlu dilakukan penyeragaman pemahaman akan hakekat bernasyid sehingga akan tumbuh sebuah generasi nasyid yang dilengkapi dengan pemahaman yang benar tentang nasyid dan berkemampuan baik untuk ditampilkan di tengah masyarakat.
Alamsyah Agus
Ketua Umum Asosiasi Nasyid Nusantara
0 komentar:
Posting Komentar